Selayaknya kebanyakan anak muda, gue sempat mengalami masa krisis identitas, apalagi karena background gue yang notabene etnis ‘pendatang’ di bumi pertiwi. Gue selalu bingung akan nasionalisme yang mesti gue tumbuhkan apalagi setelah denger orangtua yang sering cerita tetang kekejian kerusuhan 98, diskriminasi orang Tionghua, belum lagi realita diskriminasi yang memang ada dan pernah gue alami. Gue sempet berpikir untuk secepat mungkin lulus kuliah dan pindah kewarganegaraan. But, one day gue nemuin kutipan pidato Bung Karno berikut ini dan kemduai gue research background dan konteks sejarahnya dan di sini gue menemukan identitas kebangsaan Indo yang sejalan dengan apa yang selama ini gue pikirin. Pidato ini juga yang jadi dasar filosofi gue dalam menggarap sebuah proyek Instagram! Selamat membaca!
Konteks Pidato
Pidato ini disampaikan Bung Karno di depan kongres BAPERKI. BAPERKI adalah singkatan dari Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Republik Indonesia. Salah satu agenda utama BAPERI kala itu adalah menyelesaikan masalah kewarganegaraan orang-orang Tionghua di Indonesia. Kala itu ada dua usulan utama untuk menyelesikan 'masalah' ini, yakni integrasi dan asimilasi. BAPERKI sendiri yang dimotori oleh Siauw Giok Tjhan mendukung kebijakan integrasi yang menhendaki adanya harmoni antara kehidupan orang Tionghua dan pribumi tanpa membuang akar budaya Tionghua itu sendiri. Sementara itu ada pula Kristoforus Sindhunata, tokoh yang mengusulkan kebijakan asimilasi. Kebijakan ini menghendaki adanya pembauran keturunan Tionghua di Indonesia yang dipercepat. Salah satu upaya pembauran yang paling tepat dan cepat menurut Sindhunata adalah melalui perkawinan. Orang Tionghua dianjurkan untuk menggunakan nama yang mengandung unsur Indonesia dan tidak melakukan ekspresi budaya Tionghua.
Kala itu Soekarno yang dekat dengan Tiongkok dan memberikkan ruang bagi komunis dalam Nasakom-nya cenderung lebih pro-integrasi dan berikut adalah kutipan pidato Beliau di depan kongres BAPERKI tersebut.
NB: Karena pidato ini cukup panjang beberapa bagian yang saya anggap penting dan relevan saya beri warna tulisan merah.
Pidato Bung Karno pada Kongres BAPERKI VIII
“BAPERKI Supaya Menjadi Sumbangan Besar Terhadap Revolusi Indonesia”
“BAPERKI Supaya Menjadi Sumbangan Besar Terhadap Revolusi Indonesia”
Saudara-Saudara
dan Anak-Anakku sekalian,
Lebih
dahulu saya menyatakan terima-kasih saya serta rasa haru hati saya berhubung dengan
dibuatnya dan dinyanyikanaya lagu “Hidup lah Bung Karno” yang beberapa detik
yang lalu kita bersama telah mendengar. Terima kasih. Di samping mengucapkan
terima kasih itu saya menyatakan kekaguman saya atas kemahiran komponis lagu
itu, yang dari Saudara Siauw Giok Tjhan saya mendengar bahwa kom¬ponisnya ialah
seorang puteri, komponiste, yaitu Saudari Evie Tjoa. Terima kasih.
Saudara-Saudara
sekalian, sekarang saya diminta untuk memberi sambutan amanat sekadarnya kepada
resepsi pembukaan Kongres Baperki yang ke-VIII ini. Tadi Bapak Roeslan
Abdulgani telah berkata, bahwa beliau bicara sebagai voorrijder dari saya.
Saudara tahu, kalau saya resmi sebagai presiden berkendaraan mobil ke sesuatu
tempat, lantas ada voorrijdernya. Orang-orang yang mendahului perjalanan mobil
saya itu untuk membuka yalan, voorrijder. Malah ada yang lebih lagi mendahului
perjalanan saya, itu bukan voorrijder, tetapi sweeper, penyapu bersih.
Presiden
harus diadakan voorrijder, harus diadakan sweeper. Sering saya berkata, mbok ya
zonder voorrijder, zonder sweeper, tidak perlu pakai sirene mengaung-ngaung.
Tetapi anggota-anggota pemerintah dan semua staf Istana berkata: “Menurut
aturan harus demikian, Pak.” Jadi, ya, saya nurut saja. Maunya itu
kadang-ka¬dang saya mau ngluyur sendiri, Saudara-Saudara, tapi tidak boleh!
Selalu harus dengan voorrijder, harus dengan sweeper.
Nah,
ini tadi Pak Roeslan bicara, kata beliau, sebagai voorrijder saya. Pada waktu
saya mendengar pidato Pak Roeslan, saya kok ingat kepada kerbau dan gudel. Tahu
gudel itu apa? Anak kerbau. Anak kerbau itu dalam bahasa Jawa dinamakan gudel.
Anak ayam dinamakan kuthuk. Anak ikan bandeng dinamakan nener. Anak kuda
dinamakan belo. Dalam bahasa Jawa anak kerbau dinamakan gudel. Ada peribahasa
Jawa “kebo nyusu gudel”, kerbau menyusu kepada anaknya sendiri. Kerbau menyusu
kepada gudel, kepada anaknya sendiri.
Pak Roeslan itu dulu murid bapak, murid saya.
Terutama sekali di dalam ilmu politik. Waktu belakangan ini, beberapa tahun
belakangan ini tiap kali saya mendengar Cak Roeslan Abdulgani berpidato, saya
mendapat perasaan, wah ini, gudelnya ini bukan main! Gudel ini ngalahkan kebo!
Tapi saya senang dan bergembira atas hal yang demikian itu, moga-moga malahan
Cak Roeslan dari gudel Menjadi lah banteng iang sehebat-hebatnya! Dan juga
pemuda-pemuda, pemudi-pemudi yang duduk di situ supaya semuanya menjadi banteng-banteng
Indonesia!
Saudara-Saudara, Baperki sekarang mengadakan
pembukaan kongresnya yang ke-VIII, masuk tahun yang ke-X, kata Cak Siauw.
Dengan lentong Jawa Timur Cak Siauw tadi berkata, Baperki sekarang masuk usia
yang ke-X. Jawa Timur-nya Cak Siauw, “Demokrasi Terpimpin”. Malah mengeluarkan
perkataan tiap-tiap kali yang dimaksudkan itu alasan, beliau berkata “Alesan.”
..... Oo, itu dapat dari mana itu, perkataan “alesan”?!
Saudara-Saudara, Baperki sekarang mengadakan
kongres yang ke-VIII, saya diundang datang di sini. Jauh-jauh sebelum ada
kongres ini, dan pada waktu pertama kali ditanya kepada saya: “Sudi apa kah
kiranya PYM Presiden datang di kongres Baperki?” -saya menjawab, mau. Insya
Allah, mau. Apa sebab? Sebabnya ya, Baperki itu satu perkumpulan yang baik.
Baperki tegas berdiri di atas Pancasila. Baperki tegas membantu terlaksananya
Amanat Penderitaan Rakyat. Baperki tegas berdiri di atas Manipol-Usdek dan
lain-lain sebagainya. Baperki adalah salah satu dari Revolusi Indonesia. Oleh
karena itu saya dating.
Ya,
kita sekalian ini sebenarnya, Saudara-Saudara, untuk menyelesaikan Revolusi.
Kalau, baik Nyonya Lie maupun Cak Siauw berkata: “Bung Karno yang tercinta”,
saya mengerti itu sebenarnya bukan tercinta kepada persoon saya, meski pun hal
ini ada ceritanya ini. Tetapi tercinta, cinta kepada Revolusi Indonesia, yang
saya ini oleh MPRS dijadikan Pemimpin Besar Revolusi.
Dan
saya pernah berkata, saya tidak menganggap diri saya menjadi pemimpin. Saya
tidak lah mengangkat diri saya menjadi Pemimpin Besar Revolusi. Tidak!
Di
dalam salah satu pidato saya berkata, bahwa pemimpin itu, pemimpin yang
pemimpin, bukan karena angkatan sendiri, tidak. Tetapi dia itu adalah perasan –
wartawan, perasan! Dulu ada wartawan yang menulis perasaan, bukan, perasan,
diperas..nah keluar. Satu rakyat berjoang, dalam perjoangan itu seperti
memeras. Nah, keluar lah pemimpinnya. Pemimpin yang benar pemimpin adalah
perasan dari perjoangan.
Saya,
Saudara-Saudara, dinamakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pemimpin
Besar Revolusi. Saya, barangkali saya ini adalah salah satu perasan dari
Revolusi itu. Maka oleh karena itu manakala Cak Siauw atau Nyonya Lie
mengucapkan kata tercinta kepada saya, saya kembalikan itu kepada Revolusi.
Yang dicintai itu adalah Revolusi Indonesia. Yang dicintai itu adalah
perjoangan untuk menye- lesaikan Revolusi Indonesia.
Baperki
itu demikian. Berulang-ulang Baperki berkata, aktif menyelesaikan Revolusi
Indonesia, tetap berdiri di atas segala hal yang mengenai Revolusi Indonesia,
tetap berdiri di atas Pancasila, tetap berdiri di atas segala unsur-unsur untuk
menyelesaikan Amanat Penderitaan Rakyat. Oleh karena itu saya dengan gembira
dan senang hati datang di kongres-resepsi Baperki ini.
Saudara-saudara,
saya ini diangkat menyadi Presiden Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang
Dasar 1945. Undang-undang Dasar 1945 itu begini, Saudara-saudara. Pada 17
Agustus 1945 dibacakan Proklamasi di Pegangsaan Timur yang sekarang berdiri di
sana Gedung Pola. Maka di muka Gedung Poa itu ada tugu, tugu itu ditaruh persis
di tempat yang dulu saya injak membacakan Proklamasi itu. Jadi kalau
Saudara-Saudara ingin mengetahui tempat yang saya membacakan Proklamasi 17
Agustus 1945, tugu Pegangsaan Timur 56 itu lah tempatnya.
Di
atas tugu itu diadakan gambarnya petir, gambar bledek, oleh karena di tempat
itu dulu dibacakan naskah proklamasi. Dan naskah proklamasi itu memang boleh
dikatakan petir, geledek, yang didengarkan oleh 5 benua dan 7 samudera!
Tempo
hari saya pernah pidato, nama Indonesia itu terkenal dan termasyhur, pertama
kali pada tahun 1883, tatkala gunung Krakatau, tatkala gunung Indonesia lah
pertama kali mengorbitkan batu dan pasir Indonesia ke angkasa. Krakatau
meledak, batu dan pasirnya disemburkan ke atas oleh Krakatau itu masuk ke dalam
orbit mengelilingi dunia bertahun-tahun, sehingga tiap-tiap musim waktu senja,
sore, langit di Amerika, langit di Eropa kelihatan warna dari pengorbitan
batu-batu dan pasir-pasir Indonesia itu. Pada 1883 pertama kali Indonesia
mengagumkan dunia.
Kemudian
di dalam pidato, yaitu pidato Front Nasional 13 Februari yang lalu saya
berkata, ke dua kalinya nama Indonesia termasyhur, yaitu 17 Agustus l945. Nah,
Saudara-Saudara, saya menghendaki agar supaya nama Indonesia itu sering menjadi
sebutan orang di dunia ini. Bukan karena perbuatan-perbuatan Indonesia yang
jelek, tidak, tetapi hendaknya karena perbuatan-perbuatan bangsa Indonesia,
rakyat Indonesia sebagai mercusuar, kataku, dari umat manusia di dunia ini.
Saudara-Saudara,
di dalam keadaan yang demikian itu lah kita sekarang ini berada, kita telah
dapat memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik, akan nanti
terlaksana pada tanggal 1 Mei yang akan datang, tinggal puluhan hari lagi. Itu
pun seperti satu ledakan dari gunung Krakatau, dilihat dan disaksikan oleh
seluruh dunia. Kita telah dapat menyelesaikan soal keamanan dalam garis
besarnya.
Tinggal
satu yang belum, yaitu program ke tiga dari Triprogram Pemerintah,
Sandang-pangan. Dan di sini kita sekalian harus mencurahkan kita punya tenaga
agar supaya soal sandang-pangan ini lekas bisa terpecahkan.
Dan
tadi Pak Roeslan, Cak Roeslan, telah menggambarkan pada Saudara-Saudara, tekad
daripada Pemerintah Republik Indonesia, bahwa Republik Indonesia, Pemerintahnya
tetap memegang teguh kepada Triprogram ini. Tetap hendak menyelesaikan
Triprogram ini. Tetap dus akan menyelesaikan program ke tiga dari Triprogram
yang berbunyi sandang-pangan Bukan meninggalkan Triprogram ini, tetapi tetap
berpegang teguh kepada Triprogram ini sambil mengintegrasikan segenap tenaga
rakyat, apa yang dimaksudkan oleh Panca Program Front Nasional.
Nah
ini, maka oleh karena Baperki dengan tegas menyokong, bukan saya menyokong,
bahkan ikut serta, ingin ikut serta, ingin dibawa ikut serta di dalam
pelaksanaan Panca Program Front Nasional itu, maka saya merasa amat sekali
berbahagia dan memberi restu saya kepada Baperki.
Saya tadi berhata, saya berpidato di sini bukan saya sebagai
Bung Karno yang tercinta, tetapi sebagai Presiden Republik Indonesia, Presiden
dari Republik Indonesia, yang di dalam Undang-Undang Dasar 45 – saya tadi belum ceritakan, dibacakan
Proklamasi tanggal 17 Agustus 45, keesokan harinya, 18 Agustus 45, diterima lah
dengan resmi oleh Musyawarah Pemimpin-Pemimpin, UUD 45. Jadi UUD 45 itu sebetulnya
resmi lahirnya pada tanggal 18 Agustus 1945. Nah, Di dalam UUD 45 ini ada
ditullis satu hal. Dan hanya sekali itu disebut, Saudara-Saudara, perkataan
“asli”, yaitu bahwa Presiden Republik Indonesia harus seorang Indonesia asli.
Dituliskan di dalam UUD 45, Presiden harus orang Indonesia asli. Saya orang
Indonesia asli.. Garis tiga di bawah perkataan “dianggap” itu. Nah, taruh garis
tiga di bawah perkataan “dianggap”. Dianggap, strip, strip, strip, “drie
strepen onder dat woord” ‘dianggap’ orang Indonesia asli.
Saya sendiri menanya diri saya kadang-kadang. He Sukarno, apa
kowe iki bener-bener asli? Ya, engkau itu dianggap asli Indonesia. Tetapi
apakah saya betul-betul asli itu? Mboten sumerep (tidak tahu -red.). Saya tidak
tahu, Saudara-Saudara. Coba lah, siapa bisa menunjukkan asli atau tidak asli
dari darahnya itu. Saya ini tidak tahu, Saudara-Saudara, dianggap asli. Tetapi
mungkin saya itu juga 10%, 5%, 2%, ada darah Tionghoa di dalam badan saya ini!
Kalau melihat sifat saya, Saudara-Saudara, saya ini sedikit-sedikit
rupa Tionghoa. Nah, terang-terangan, saya ini kan rupanya saya sudah kelibatan
sedikit Tionghoa! Lain dengan Cak Roeslan, sedikit Keling dia itu! Jadi siapa
bisa menyebutkan dirinya asli atau tidak, itu sebetulnya, Saudara-Saudara.
Kalau
melihat jaman dekat saya, Saudara-Saudara, jaman dekat, saya ini adalah anak
hasil perkawinan dari orang suku Jawa dengan orang suku Bali. Ibu saya itu
orang Bali, bapak saya orang Jawa. Saya sudah belasteran antara Bali dan Jawa.
Belasteran. Ya maklum, Cak Siauw bicara Jawa Timur, saya juga Jawa Timur Jawa
Timuran, arek Suroboyo! Ibu saya itu orang Bali. Katanya orang Bali itu ada
darah dari Majapahit. Majapahit itu ada darah dari Hindu. Bahkan orang
Majapahit itu banyak sekali turunan dari Campa, Saudara-Saudara. Barangkali
Saudara-Saudara pernah baca di dalam kitab sejarah, di Majapahit itu banyak
sekali puteri-puteri dari Campa. Putri Cempo, kata orang Surabaya. Jadi mungkin
di dalam tubuh ibu itu sudah mengalir darah Campa.
Sayapun
katanya dari suku Jawa, tapi bapak itu siapa tahu, campuran, campuran. Ayo, aku
tanya kepada Saudara yang dudak di sini dengan dasi yang baik itu. Apa Saudara
bisa mengatakan dengan jelas, darah apa yang mengalir di dalam tubuh Saudara?
Tidak bisa. Maka itu, Saudara-Saudara, kalau saya sendiri, lho, sebagai
persoon, saya sendiri tidak tahu asli atau tidak asli itu. Saya sendiri tidak
mengadakan perbedaan antara asli dengan tidak asli. Tidak.
Saya
mau cerita satu rahasia, tatkala saya masih muda, Saudara-Saudara, hampir-
hampir saya ini kawin dengan orang Nio! Saya cuma sebut nama, she-nya tidak
saya sebutkan. Saya tidak sebutkan she-nya ya, ada she, lantas Thiam Nio.
Hampir-hampir saja. Tapi, yaitu, pada waktu itu masih berjalan alam kolonial,
alam pra-merdeka. Orang tunya Thiam Nio
– she-nya tidak saya sebutkan – dia berkata: “Masak kawin sama orang
Jawa!” Saya dikatakan orang Jawa. Sepihak dari orang tua saya berkata: “Masak
kawin sama orang Tionghoa, Peranakan Tionghoa!”
Alam
demikian pada waktu itu, sehingga tidak terjadilah perkawinan antara Sukarno
dengan Thiam Nio itu. He, tapi satu rahasia, lho! Jadi saya, Saudara-Saudara,
saya sendiri tidak berdiri di atas asli atau tidak asli, tidak, tidak, sama
sekali tidak!
Karena
itu maka saya pada tanggal 1 Juni 1945, sebelum kita mengadakan kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945, bahkan pada waktu itu di bawah ancaman bayonet
Jepang, Saudara-Saudara, saya telah ucapkan “Lahirnya Pancasila”, yang tadi
diterangkan pada pokok-pokoknya oleh Cak Roeslan Abdulgani. Lantas Cak Roeslan
Abdulgani bertanya kepadamu sekalian, engkau anggota-anggota Baperki, apa kah
betul-betul engkau memegang teguh kepada nasionalisme?! Memegang teguh kepada
Pancasila?! Sebagai diucapkan beberapa kali.
Jawab
Saudara-Saudara sekalian ialah, ya, kita berpegang teguh kepada Pancasila. Kita
oleh karenanya cinta kepada tanah-air, bangsa Indonesia ini dari Sabang sampai
ke Meraluke.
Di
dalam “Lahirnya Pancasila” memang saya terangkan hal yang demikian itu. Saya
citeer Ernest Renan. Kemudian saya koreksi. Ernest Renan adalah terlalu sempit.
Saya koreksi dengan Otto Bauer, yang mengatakan, bahwa “Eine nation ist eine
aus Schickselgemeinschaft erwachsene Karaktergemeinschaft”, sebagai yang
diterangkan oleh Cak Roeslan. Ya, tapi Otto Bauer pun saya koreksi, saya bawa lanjut
kepada persatuan dari tanah-air, hubungan antara manusia dengan buminya Itu
tahun 45, Saudara-Saudara. Sekarang bagi saya sendiri, bahkan lebih dari itu.
Saya adalah nasionalis Indonesia. Saya ada lah orang Indonesia. Saya adalah
pencinta bangsa dan tanah-air Indonesia ini, bukan hanya oleh karena
nasionalisme-ku ada lah satu jiwa ingin bersatu, Renan, ‘le desir d’etre
ensemble’ yaitu keinginan untuk bersatu. Ingin kah kita bersatu ini, aku dengan
engkau, dengan engkau, dengan engkau, dengan engkau, dengan engkau, dengan kita
sekalian dari Sabang sampai Merauke?Lebih dari itu, kataku.
Otto
Bauer berkata, bakan sekadar ingin bersatu, bukan sekadar satu jiwa, un ame,
artinya jiwa, tidak. Bukan sekadar itu, tetapi adalah persatuan perangai.
Karaktergeimeinchaft. Kita mempunyai kepribadian sendiri, karakter, karakter
Indonesia. Ada kah engkau dari kepribadian ini?!
Ada
kah engkau dari karakter ini? Ada kah karaktermu, karakterku, karaktermu sama?
Lebih dari itu sekarang, Saudara-Saudara.
Di
dalam “Lahirnya Pancasila” sudah saya tambahkan lagi persatuan antara manusia
dengan buminya, yang bumi Indonesia ini oleh Tuhan Yang Maha Esa telah
dikumpulkan menyadi satu antara dua benua dan dua samudra. Ini satu petunjuk.
Dan bukan saya itu, kita dilahirkan di bumi ini, kita hidup di bumi ini, kita
akan mati di bumi ini. Ada kah persatuan antaramu dengan bumi yang disatukan
oleh Tuhan ini dari Sabang sampai ke Merauke? Satu pernyataan pula.
Sekarang
aku tambah lagi, bagiku sendiri bukan sekadar persatuan antaraku dengan bumiku,
dengan Sabangku, dengan Sumtateraku, dengan Jawaku, dengan Kalimantanku, dengan
Baliku, dengan Lombokku, dengan Surabayaku, dengan Malukuku, dengan Irian
Baratku, tidak. Bukan sekadar hubunganku, dus hubunganmu, mu, mu, mu, dengan
geografi yang bernama Indonesia. Tidak.
Aku
sudah naik kelas yang lebih tinggi dari itu, naik kelas kepada apa yang saya
pernah ucapkan di sini, di gedung ini, Sport Hall Senayan, bahwa bagiku
Indonesia adalah sudah lebih lagi daripada satu geografi, bahwa bagiku Indonesia
sudah lebih lagi daripada rasa d’etre ensemble, bahwa bagiku Indoaesia sudah
lebih daripada satu Karaktergemeinschaft. Sebab apa, kataku? Aku berkata secara
poetis di dalam pidatoku itu waktu, kalau aku mencium, Indonesia. Kalau aku
berdiri di pinggir pantai selatan dan aku menutupkan aku punya mata dan aku
mendengarkan lautan sana itu berombak, bergelora membanting di pantai itu, aku
mendengarkan Indonesia. Jikalau aku melihat awan putih berarak di atas gunung
Tangkubanprahu, aku melihat awan-awan Indonesia, yang lain dengan awan-awan di
Zwitzerland atau awan-awan di Amerika. Kalau aku mendengarkan burung perkutut
menyanyi di pepohonan, aku mendengarkan Indonesia. Kalau melihat sinar matanya
anak-anak yang berdiri di pinggir jalan, sinar mata anak-anak yang berteriakkan
“Merdeka Pak, Merdeka, Merdeka”, aku melihat Indonesia. Bahkan aku melihat hari
depan Indonesia.
Indonesia
bagiku adalah sudah satu totaliteit bukan sekadar satu geografi, bukan sekadar
satu desir d’etre ensemble, bukan sekadar satu Gemeinschaft karakter. Nah,
Indonesia sudah satu totaliteit bagiku. Awan, awan Indonesia. Bumi, bumi
Indonesia. Laut, laut Indonesia. Geloranya laut itu, geloranya laut Indonesia.
Suara burung, burung Indonesia. Sinar mata manusia, sinar mata Indonesia. Segala
angin yang berbisik mengelilingiku ini, angin Indonesia. Dan itu semuanya
kucintai.
Nah,
aku bertanya kepada anggota-anggota Baperki, sudah kah Saudara-Saudara sekalian
demikian? Sebab kita ini semuanya sudah seia-sekata mengabdi Revolusi, mengabdi
kepada Amanat Penderitaan Rakyat yang harus dilaksanakan berdasarkan atas
Manilpol, ber-dasarkan atas Usdek dan lain-lain sebagainya.
Persatuan
Bangsa yang saya sebutkan berulang-ulang itu sebenar-nya sekadar alat,
Saudara-Saudara. Saya berkata di JAREK.. JAREK itu singkatan dari “Jalannya
Revolusi Kita”, yang saya katakan seperti malaikat-, di dalam JAREK saya sudah
berkata, persatuan adalah mutlak, absolut untuk mencapai tujuan kita. Jikalau
kita benar-benar hendak menyelesaikan Revolusi kita, kita harus bersatu.
Jikalau kita hendak benar-benar ingin menjadi mercusuar didalam hidup manusia
di dunia ini, kita-harus. bersatu. Dan di dalam hal persatuan ini saya berkata,
saya menghendaki supaja di dalam persatuan segala unsur bangsa Indonesia itu
disatukan. Suku apa pun, ya suku Sumatera, ya suku Jawa, ya suku Kalimantan, ya
suku Bali, ya suku apa pun, bersatu lah. Agama apa pun yang dipeluk oleh rakjat
Indonesia ini, bersatu lah, dan jangan lah berpecah-belah di atas
perlainan-perlainan agama itu. Asli atau tidak asli, bersatulah. Persatuan
adalah mutlak , Saudara-saudara. Nah, maka oleh karena itu di dalam kita
sekarang hendak melanjutkan Revolusi kita ini berlandaskan Manipol dan Usdek,
dalam hal ini saya berkata, persatuan tetap mutlak, maka saya menghendaki agar
supaja seluruh waragnegara, tanpa perbedaan asli atau tidak asli, tanpa
perbedaan agama, tanpa perbedaan suku, semuanya di-Manipol-kan; semuanya kita
mengerjakan Manipol dan Usdek itu!
Sampai
kepada sekolah-sekolah, yangan pun universitas-universitas, kepada
sekolah-sekolah yang sedang melatih kita punya cindil-cindil abang (anak tikus
-red.). Saudara-saudara, harus sudah di-Manipol-kan. Cindil-cindil kita yang
duduk di bangku sekolah, Manipol-kan. Apalagi yang sudah gerang-gerang (besar),
tua bangka seperti kita ini, Manipolkan semuanya!
Nah
itu lah, Saudara-Saudara, sebabnya, maka saya di sini pun minta kepada Baperki
supaja bekerja keras di lapangan ini. Sekarang ini, sebagai tadi sudah saya
katakan, Triprogram pemerintah itu satu belum terlaksana. Sandang-pangan. Dan
memang ini adalah satu soal yang sulit, tetapi harus kita atasi. Dan sebagai
dikatakan oleh Cak Roeslan tadi, pemerintah, dan terutama sekali presidennya,
perdana menterinya, Bung Karno-nya telah berketetapan hati untuk terutama
sekali berdiri di atas pengerahan tenaga rakyat.
Oleh
karena itu maka Panca Program Front Nasional yang sudah saya katakan harus
dilaksanakan oleh Front Nasional itu diintegrasikan di dalam usaha kita
melaksanakan Triprogram Pemerintah ini. Baperki saya harap benar-benar membantu
terlaksananya Pancaprogram Front Nasional itu, oleh karena dengan terlaksananya
Panca Program Front Nasional, kita membantu juga terlaksananya seluruh
Triprogram Pemerintah.
Saudara-Saudara,
Revolusi berjalan terus, dan revolusi kita ini sebagai yang sudah saya katakan
bukan revolusi kecil-kecilan, revolusi Pancamuka kataku, bahkan jikalau dipikir
lebih luas, sebetulnya kataku, pada waktu aku berpidato kemarin-kemarin
dulu—apa waktu itu ya, di Istana Negara, seminar Hukum Nasional—sebetulnya
revolusi kita ini bukan lagi Pancamuka, panca itu lima, bukan Cuma lima, yaitu
Revolusi Politik, Revolusi Nasional. Revolusi Ekonomi, Revolusi Sosial,
Revolusi membentuk Manusia Baru. Lima, tidak, sebenarya revolusi kita itu ada
lebih dari lima muka Maka boleh dikatakan Revolusi Saptamuka, sapta itu artinya
tujuh. Bisa dinamakan hastamuka, hasta itu delapan. Boleh dinamakan dasamuka,
dasa yaitu sepuluh.
Pendek
kata revolusi kita ini adalah benar dikatakan satu revolusi multikompleks. “A
summing up of many revolutioes in one generation”. Revolusi Indonesia itu
adalah satu “nation building” Indonesia yang sehebat-hebatnja. Itu, nation
building Indonesia yang sehebat-hebatnya. Dan didalam hal usaha nation building
itu, segala unsur-unsur darispada nation buiIding harus diilaksanakan. Apa
unsur nation building? Bukan sekadar soal ekonomi bukan sekadar soal politik,
bukan sekadar soal kultur, bukan soal nama, tidak nation building adalah satu
pekerjaan yang multikompleks pula.
Tujuan
dari Revolusi Indonesia adalah nation building Indonesia. Nation building bukan
didalam arti yang sempit, sekadar membentuk satu “nation” Indonesia. Tidak
lebih dari itu pula. Nation Indonesia yang bahagia, nation Indonesia yang
berkepribadian tinggi, nation Indonesia yang hidup di dalam satu masyarakat
adil dan makmur tanpa exploitation de l’homme par l’homme. Nation building
dalam arti yang seluas-luasnya.
Nah,
ini yang kita kerjakan sekarang ini, Saudara-Saudara. Oleh karena itu saya
berkata, jangan lah kita-jikalau kita hendak mendirikan nation Indonesia dalam
arti yang luas itu- jangan kita masih berdiri di atas dasar-dasar yang usang,
yang tadi disebutkan oleh Pak Roeslan Abdulgani.
Sudah
pernah saya terangkan, kekuasaan imperialisme dulu di Indonesia apa? Negeri
Belanda yang pada waktu itu rakyatnya hanya 6 juta, telah mengalahkan satu
bangsa yang 40 juta. 6 Menjadi 7, 40 menjadi 50. 7 Menjadi 8, 50 menjadi 70. 8
juta menjadi 9 juta, sini menjadi 80 juta. Sekarang di sana 10 juta, sini 100
juta.
Pada
waktu, imperialisme Belanda mengekang, mengereh, mengalahkan Indonesia, rakjat
kecil mengalahkan Indonesia dengan apa? Saya sudah berkata, baca lah kitab dari
Sir John Seeley. He, mahasiswa-mahasiswi, Sir John Seeley, menulis satu kitab
yang ia beri judul ‘The Expansion of England”. Dan di situ persis ia terangkan
juga, bangsa Inggris di India itu berapa orang? Hanya 40 ribu orang Inggris di
India bisa mengalahkan satu rakyat yang 230 juta orang. 40 ribu mengalahkan 230
juta orang, dengan apa? Dengan alat-alat terutama sekali memecah-belah bangsa
India itu, divide and rule, divide et impera.
Persis
di sini pun gterjadi demikian. Di sini pun berjalan pemecah- Belahan. Di sini
pun berjalan divide and rule. Oleh karena itu pernah saya beberkan segala usaha
dari imperialisme ini dengan berkata, kekuasaan imperialisme itu ada dua macam.
Dalam bahasa asingnya machtsfactor. Macht yaitu kekuasaan. Factor kekuasaan
imperialisme itu dua macam. Ada yang riil, ada yang abstrak. Ada yang bisa
dilihat, bisa diraba, ada yang tak bisa dilihat, tidak bisa diraba. Yang riil
yaitu machtsfactor, power factor yang riil. Apa itu? Angkatan perangnya,
polisinya, penjara-penjaranya, bedil-bedilnya, meriam-meriamnya, itu ada lah
power factor, machtsfactor yang riil.
Tapi
ini tidak besar, Saudara-Saudara; lebih besar daripada machtsfactor yang riil
ini adalah machtsfactor yang abstrak, yang tidak bisa dilihat, yang tidak bisa
diraba. Dan machtsfactor yang abstrak ini apa kah, Saudara-Saudara? Terutama
sekali ialah divide and rule policy, pemecah-belahan suku dihasut benyci kepada
suku yang lain. Tidak ada persatuan, tidak boleh ada persatuan antara
suku-sukuIndonesia.
Dan
tidak boleh ada persatuan antara mayoritas dan minoritas. Dipisah-pisahkan
majoritas dari minoritas. Malahan dibentuk minoritas yang benci kepada
mayoritas dan dibuat majoritas ini benci kepada minoritas.
Kalau Saudara ingin mengetahui terjadinya minoritas, yang
dinamakan minoritas Peranakan Tionghoa, minoritas Tionghoa di Indonesia ini,
pemuda-pemuda, baca lah kitabnya Prof de Haan. Prof de Haan menulis kitab
tebal, tiga jilid, titelnya yaitu “Priangan”, ditulis oleh Prof de Haan. Dan di
situ Prof de Haan menerangkan, bahwa pihak Belanda dari jaman Jan Pieterszoon
Coen membentuk satu minoritas untuk kepentingan mereka itu. Satu minoritas yang
terdiri dari orang-orang Tionghoa dan Peranakan Tionghoa.
Dengan
sengaja dipisahkan dari mayoritas. Dengan sengaja dipergunakan untuk
kepentingan pibak Belanda sendiri. Dan ini merembes terus-menerus sampai jaman
yang akhir-akhir ini, rasa tidak senang antara minoritas dan majoritas,
majoritas terhadap minoritas. Sampai-sampai yang Thiam Nio itutadi tak bisa
kawin dengan Bung Karno! Ya, dari pihaknya tidak mau, tidak boleh kawin sama
orang Jawa, dari pihak saya pun tidak boleh kawin dengan Peranakan Tionghoa.
Saudara-Saudara, bagaimana pun juga ini adalah akibat dari kolonialisme,
akibait dari imperialisme. Maka oleh karena itu, Saudara-Saudara, kita didalaml
Republik Indonesia, di dalam alam baru ini kita harus sama sekalitinggalkan
dasar yang salah ini. Kita membentuk nation Indonesia yang baru, yaitu
sebetulnya pun kelima dari Pancamuka Revolusi Indonesia ini. Dan di dalam hal
ini Beperki bisa bekerja keras, bisa memberi sumbangan yang sebesar-besarnya. Terus terang saya, Saudara-saudara, saya pernah bicara
dengan, bukan saja bicara, saya pernah berada di beberapa negara sosialis. Ya
di Soviet Uni, ya di Rumania, ya di Bulgaria, ya di Vietnam Utara, ya di
Cekoslowakia, ya di Polandia Malah saya di negara-negara itu berkata, hhh,
Republik Indonesia lebih jauh dari kamu di sini. Pernah di kota Hanoi, ibukota
negara Vietnam Utara, saya dengan Pak HO, Paman Ho, Ho Chi Minh. Datang lah
suatu delegasi, Saudara-Saudara, satu delegasi dari satu golongan minoritas.
Dan kelihatan, memang ini tidak sama dengan rakyat Vietnam yang lain. Ini
kelihatannya agak kemelaju-melajuan, potongan badannya, roman mukanya,
pakaiannya dan lain-lainnya kelihatan benar, ini adalah beda dari rakjat
Vietnam Utara yang lain-lain.
Pak Ho, Ho Chi Minh, Paman Ho dengan bangga berkata kepada saya:
“Bung Karno, ini adalah delegasi dari minoritas, ingin bertemu muka dengan Bung
Karno”. Saya berkata kepada delegasi itu, dan kepada Pak Ho saya berkata,
sebetulnya di Indonesia kita tidak mengenal minoritas. Dan saya tidak mau
mengenal minoritas di lndonesia. Di Indonesia kita hanya mengenal suku-suku.
Saya tidak akan barkata, suku itu adalah minoritas, suku itu
adalah minoritas, suku itu adalah minoritas, suku Dajak adalah minoritas, suku
Irian Barat adalah minoritas, suku yang di Sumatera Selatan itu -suku Kubu-
adalah minoritas, suku Tionghoa adalah minoritas, tidak! Tidak ada minoritas,
hanya ada suku-suku, sebab mnanakala ada minorltas, ada mayoritas. Dan biasanya
kalau ada majoritas, dia lantas exploitation de la minorite par la majorite,
exploitatie dari minoriteit majoriteit.
Saya, tidak mau apa yang dinamakan golongan Tionghoa, Peranakan
Tionghoa itu di-exploitation oleh golongan yang terbesar dari rakyat Indonesia
ini, tidak! Tidak! Engkau adalah bangsa Indonesia, engkau adalah bangsa Indonesia,
engkau adalah bangsa Indonesia, kita semuanya adalah bangsa lndonesia.
Itu, yang duduk di sana, jenggot ganteng ubel-ubel itu .... Bung
dari mana, Bung? Dari Medan? Dari mana? Coba sini! Siapa namanya? Jawabnya,
Amar Singh, katanya. Anggota Baperki. Warga Indonesia. Haa, Indonesia! For me
you are not a minority, you are just an Indonesian. Haa, ini orang Indonesia,
Saudara-saudara, bukan minoriteit!
Saya kata Sama Paman Ho, di Indonesia itu paling-paling ada
suku-suku. Suku itu apa artinya? Suku itu artinya sikil, kaki. Ja, suku artinya
kaki. Jadi bangsa Indoaesia itu banyak kakinya, seperti luwing,
Saudara-Saudara. Ada kaki Jawa, kaki Sumatera, kaki Dayak, kaki Bali, kaki
Sumba, kaki Peranakan Tionghoa, kaki Peranakan. Kaki dari satu tubuh, tubuh bangsa
Indonesia.
Nah, Pak Ho, kataku, demikianlah Indonesia. “Ja, that is
better”, kata Pak-Ho. Ya memang, itu lebih baik, Saudara-Saudara, karena itu
aku tadi berkata, ya kami bangga, Indonesia lebih, lebih dari di negara-negara
sosialis atau negara-negara yang kita kenal sebagai sosialis. Tetapi,
Saudara-Saudara, segala hal itu sebagai saya katakan di dalam pidato Front
Nasional, adalah satu perjoangan. Jangan mengharap segala sesuatu itu beres,
datang dari langit seperti embun di waktu malam, tidak!Perjoangan! Jikalau
umpamanja Saudara-Saudara atau rakyat Indonesia semuanya ingin supaya di dalam
UUD 45, UUD kita sekarang ini jangan lah ditulis “Presiden Republik Indonesia
haruis orang Indonesia asli”, berjoang lah agar supaya hilang perkataan ini!
Rakyat Indonesia berjoang bersama-sama supaya perkataan “asli” dari UUD 45 ini
dicoret sama sekali.
Begitu
pula kalau saudara-saudara menghendaki sdekarang ini hilangnya perasaan tidak
enak dari mayoritas atau minoritas, kalau Saudara merasakan dirinya minoritas,
itup un memerlukan perjoangan. Perjoangan agar supaya hilang rasa tidak senang
kepada minoritas. Sebaliknya pun minoritas saya minta berjoang, berjoang,
sekali lagi berjoang, agar supaya tidak ada rasa kebencian dari minoritas
kepada majoritas.
Terus
terang saja, Saudara-Saudara, saya pernah di dalam Gedung Senat Washington,
Capitol Washington, saya pernah menggugat, apa kah benar Amerika itu berdiri di
atas demokrasi. “Yes”, kata orang-orang yang ada di situ, senator-senator,
Saudara-Saudara, orang-orang biasa. “Amerika berdiri di atas dasar demokrasi.
Yes.”
Amerika
menulis di dalam “Declaration of Independence”-nya, yang ditulis oleh Thomas
Jefferson dalam 1776, bahwa semua manusia itu dilahirkan sama. “That all men
are created equal”. Benar kah begitu?! “Yes. This is written in our Declaration
of Independence, that all men are created equal.” Sama. Tidak ada perbedaan
antara manusia dengan manusia. Bahwa manusia itu karena samanya, tiap tiap
manusia mempunyai hak untuk life, liberty, the pursuit of happiness. Demikian
lah tertulis di dalam “Declaration of Independence” Amerika. Bahwa manusia
created equal, bahwa manusia semuanya itu mempunyai hak, hak yang primordial,
hak yang terbawa dari sebelum ia lahir di dunia ini, sudah membawa hak tiga:
life, liberty, kemerdekaan; the pursuit of happiness, mencari, mengejar
kebahagiaan.
Manusia
tidak dilahirkan untuk tidak “life”, manusia tidak dilahirkan di dunia ini
untuk “tidak hidup”. Manusia tidak dilahirkan untuk tidak “liberty”, untuk
tidak “merdeka”. Manusia tidak dilahirkan di dunia ini untuk dari kecilnya
sudah membawa rantai di kakinya, tidak bisa bergerak ke mana-mana oleh karena
ia orang tidak merdeka. Manusia tidak dilahirkan di dunia ini untuk tidak boleh
pursuit of happiness, mengejar kebahagiaan.
Is
it true, in your declaration of independence is written, life, liberty and the
pursuit of happiness? “Yes, it is true”, kata senator-senator itu. Jadi diakui.
Ada
pertanyaan; bahwa all men are created equal, manusia dilahirkan sama, that all
men boleh mengejar life, liberty, and the pursuit of happiness. Boleh, semuanya
sama.
Waktu
itu, perdebatan antara saya dengan senator-senator itu mengenai Irian Barat,
Saudara-Saudara, sebab salah satu senator itu kulitnya agak hitam, memang dia
adalah kulitnya agak hitam, dia membantah, kenapa kok Indonesia mau mengclaim
Irian Barat? Sebab orang Irian Barat itu kulitnya hitam, lain ras dari
Indonesia yang kebanyakan, kata senator itu.
Saya
berkata, ha, Amerika mengatakan all men are created equal. Amerika mengatakan
that all men boleh mengejar life, liberty, and the pursuit of happiness. Kenapa
kok mengadalkan pernyataan demikian, kataku. Apa kah bangsa itu terdiri dari
satu warna kulit? Sebaliknya kubertanya kepadamu, kenapa di Amerika masih ada
egregation? Segregation yaitu orang Negro di beberapa tempat masih dianggap
sobagai orang jang inferior. Restoran, only tor white men, orang hitam tidak
boleh msuk restoran.
Movie,
only for white men, tidak boleh orang bitam masuk di dalam movie itu. Autobus
ditulis, only for white men. Tidak boleh orang Negro naik di autobus itu.
Saya
berkata demikian. Jawbnya bagaimana? Jawabnya ialah, ya, segala hal itu harus
kami perjoangkan. Itu kan undang-undang yang mengatakan, bahwa all men are
created equal.
Di
dalam “Declaration of Independence” itu dia punya mukaddimah dari pernyataan
kemerdekaan ialah ditulis, tulis zwart op wit, tetapi toh kertas,
Saudara-Saudara, that all men are created equal. Di atas kertas ditulis, bahwa
tiap-tiap manusia itu mempunyai hak atas life, 1iberty, and the pursuit of
happiness, di atas kertas, but in the reality of life masih harus
diperjoangkan.
Segala
itu adalah hasil dari perjoangan. Dan senator itu berkata: “Ya, kami senator-
senator —kami yang duduk di sini ini kami memperjoangkan agar supaya di Amerika
ini, tidak ada segregation. Kami memperjoangkan agar supaja orang Amerika
semuanya suka menerima warganegara Amerika yang berkulit hitam sebagai
warganegara yang full dan sejati.” Saya berkata, I can appreciate it. Saya bisa
mengerti ini dan saya bisa appreciate ini.
Sebaliknya
pun aku berkata kepada bangsa Indonesia tempo hari, tatkala aku mengadakan
pidato Front Nasional, jangan lupa segala sesuatu itu adalah perjoangan, harus
kita perjoangkan, perjoangkan. Aku berkata, Panca Program itu bagiku pun satu
perjoangan, saya harus mengerahkan segenap rakyat, mengerahkan segenap rakyat,
mengerahkan segenap menteri, mengerahkan segenap pegawai, mengerahkan segenap
petugas Republik Indonesia ini untuk menjalankan, melaksanakan Panca Program
dari Front Nasional. Mengerahkan perjoangan!
Karena
itu, Saudara-Saudara, saya berkata jikalau rakyat Indonesia menghendaki supaya
di dalam UUD-nya jangan ditulis “asli-aslian” sebagai Presiden, perjoangkan hal
ini, kerahkan lah segenap tenaga, agar supaya hilang dari UUD kita. Jika bangsa
Indonesia tidak mau mengeaal adanya minoritas dan mayoritas, jikalau bangsa
Indonesia memang hanya mengenal satu bangsa Indonesia yang tiada mayoritas dan
tiada minoritas, perjoangkan hal ini bersama-sama dengan saya, bersama-sama
dengan pergerakan-pergerakan yang ada di Indonesia ini. Sebab itu tadi Pak
Roeslan berkata, tanpa effort tidak bisa kita mencapai sesuatu hal.
Dus manakala saya di sini, Saudara-Saudara, memeluk Baperki,
saya boleh juga dikatakan, saya mengajak Baperki untuk berjoang bersama-sama
dengan saya, bersama-sama dengan seluruh rakyat Indonesia agar supaya Amanat
Penderitaan Rakyat bisa selesai, agar supaya semua cita-cita kita bisa
terlaksana.
Ada pendirian-pendirian saya pribadi, ada, itu pribadi, Saudara-
Saudara. Saja ulangi lagi, pribadi, mengenai soal asimlilasi misalnya yang tadi
Cak Siauw berkata, mbok ya jangan diutik-utik soal asimilasi.
Ya, saya, tidak mau ngutik-ngutik, sebab Cak Siauw, wah itu bisa
juga cuma menyimpangkan perhatian saja. Ya, Bung Siauw, saya tidak akan
mengatik-utik. Tapi perasaan pribadi saya, saya ini tidak kenal
Saudara-Saudara, akan perbedaan darah itu, tidak.
Nama pun, nama saya sendiri itu Sukarno, apa itu nama Indonesia
asli? Tidak. Itu asalnya Sanskrit, Saudara-Saudara. Sukarna. Nah, itu Abulgani,
Arab. Ya, Cak Roeslan namanya asal Arab, Abdulgani. Nama saya asal Sanskrit,
Sukarna. Pak Ali itu campuran, Ali-nya Arab, Sastraamijaja itu Sanskrit,
campuran dia itu.
Nah karena itu; Saudara-Saudara pun — ini perasaan saya
persoonlijk, persoonlijk, pribadi— what is in a name? Walau saudara misalnya
mau menjadi orang Indonesia, tidak perlu ganti nama. Mau tetap nama Thiam Nio,
boleh, boleh saja. Saya sendiri juga nama Sanskrit, Saudara-Saudara. Cak
Roeslan namanya nama Arab, Pak Ali namanya campuran, Arab dan Sanskrit.
Buat apa saya mesti menuntut, yang orang Peranakan Tionghoa yang
mau menjadi anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau
ubah namanya, ini sudah bagus kok .. .... Thiam Nio kok mesti dijadikan
Sulastri atau Sukartini. Yah, tidak? Tidak. Itu urusan prive. Agama pun prive,
saya tidak campur-campur. Yang saya minta yaitu, supaja benar-benar kita
menjadi orang Indonesia, benar-benar kita menjadi warganegara Republik
Indonesia. Bahkan sebagai kukatakan tadi mbok ya seperti saya ini, kalau boleh
saya pakai contoh, bukan sekadar Renand, bukan sekadar Otto Bauer, bukan
sekadar geografi, kataku, lebilh dari ini, lebib dari ini, lebih dari
geografi. Indonesia bagiku adalah satu
totalitas, ya burungnya, ya udaranya, ya suaranya, ya gelora lautnya,
segala-galanya ialah Indonesia, Indonesia, Indoneisia, dan untukmu aku hidup di
sini, kecuall di samping untuk Allah SWT.
Saudara-Saudara, kau tidak salah, duduk di muka saya ini penari
ulung, apa betul? Dari Bandung? Apa betul dari Bandung? Dia itu, siapa namanya,
lupa lagi saya. Tan Tian Ie, nah sini Nak, sini. Ini Tan Tian Ie misalnya kalau
menari, Saudara-Saudara, menari tari-tarian Sunda.... hh, banyak wanita-wanita
Sunda itu kalah sama dia. Dan dia betul-betul merasa Indonesia, sampai yaitu,
segala tari-tarian yang lemah-lembut dia bisa tarikan.
Apa pernah saja berkata kepadamu, Tan Tian Ie, kau mesti ubah
namamu?! Tidak.Tetap lah engkau bernama Tan Tian Ie.
Ini
pendirian saya pensoonlijk, pribadi, Saudara-Saudara.
Baik
saya mencurahkan rasa hatiku terhadap kepada Saudara-Saudara agar supaya
Saudara-Saudara yang berkata kepadaku, Bung Karno yang tercinta, mengetahui
betul-betul. Bung Karno ini apa! Bung Karno ini kecuali ini, daging, darah,
tulang ialah rupa begini, isi hatinya ialah demikian.
Dan
saya harap agar supaya Baperki dalam menjalankan tugasnya sebagai Baperki
sebagai tadi sudah saya harapkan, berperasaan sama-sama dengan Bung Karno yang
dikatakan dicintai oleh Saudara-saudara itu.
Demikian
lah, Saudara-Saudara, moga-moga kongres Baperki yang ke-VIII sukses, moga-moga
Baperki selalu maju pesat, moga-moga Baperki benar-benar menjadi sumbangan yang
besar terhadap kepada Revolusi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar