Konflik SARA atau Konflik Kepentingan Atas Nama SARA?

  • 2
Demonstrasi 4 November diawali dengan tentram dan diakhiri kericuhan, ini adalah sebuah fakta. Fakta yang agak mengusik tentunya, mengusik saya untuk turut untuk berbagi sedikit pandangan, entah salah entah benar, yang pasti tidak berusaha memprovokasi seperti hmmm.... oke kita lanjutkan. 

Sumber: viva.co.id

Sebelum 4 November, berbagai broadcast berbau negatif mulai tersebar di berbagai lini media sosial. Perasaan was-was pun mulai tumbuh di kalangan masyarakat Jakarta. Job saya di tanggal itu pun sampai harus diundur, kampus pun diliburkan. Hingga tibalah tanggal 4 November yang sampai pukul 18:00 'sempat' membuktikan perasaan was-was tersebut salah. 'Sempat' muncul perasaan bangga, rasa-rasanya bangsa ini mulai dewasa secara demokrasi. Saya terlalu meng-underestimate kedewasaan demokrasi di Indonesia. Munculnya pasukan semut yang memungut sampah bahkan sempat mengingatkan saya pada unjuk rasa bersih ala Umbrella Movement di Hongkong. Namun, tak sampai dua jam, *poof* headline-headline berita nasional tiba-tiba berubah. Aksi damai berganti menjadi massa anarkitis. Bentrok terkadi antara sebagian massa di Istana Negara yang menolak dibubarkan setelah jam demonstrasi telah lewat. Meluasnya berbagai broadcast mengenai panasnya kericuhan dan terjadinya penjarahan di beberapa titik di Jakarta Utara yang mengarah kepada kerusuhan etnis kian memperkeruh situasi. 

Hal ini mengundang tanya dan kekhawatiran, terutama dari etnis Tionghua. Belum genap dua dekade lalu lembar sejarah bangsa ini tercoreng oleh noda hitam. Masih belum kering bekas noda hitam ini, apakah mungkin sejarah terulang? Apakah memang bangsa ini bangsa yang sebegitu tidak tolerirnya? Apakah memang satu agama atau satu suku dan lainnya memang punya sifat alami untuk saling membenci? 

Sebelum berkesimpulan, mari coba keluar dari konteks Indonesia. Kita zoom-out sedikit dan alihkan fokus kita sedikit ke Utara, tepatnya di negara Pakistan. Pernah dengar Pakistan? Pasti pernah dong, negara ini adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar nomor dua di dunia, tentunya setelah Indonesia. Indonesia secara umum punya pandangan yang sangat positif terhadap negara sesama mayoritas Muslim ini. Menurut catatan Wikipedia, Indonesia tercatat sebagai negara dengan persentasi penduduk yang memiliki pandangan positif terbesar di dunia terhadap Pakistan. Mau tau nomor duanya? Jawabannya surprisingly but also unsurprisingly adalah RRT, iya negara tanah leluhur si Ahok, iya yang orang-orangnya tipe-tipe Glodok gitu deh. Pandangan positif ini bukan data statistik semata, media-media lokal Tiongkok pun tak jarang memuji para pemimpin Pakistan. Seperti yang dilansir dari artikel dalam situs Toutiao.com (semacam buzzfeed-nya Tiongkok?). Pakistan disebut sebagai 中国人的好兄弟 alias sohib terbaik yang udah dianggap sebagai saudara sendiri oleh Tiongkok. Hubungan mereka digambarkan 很铁 (sekeras besi). Cinta ini rupanya ga bertepuk sebelah tangan, orang Pakistan tercatat sebagai negara dengan pandangan positif terbesar (sebesar 85%) terhadap Tiongkok. Kepala negara kedua negara juga bolak-balik mengunjungi negara sahabat baiknya tersebut. Sangking mesranya banyak yang membandingkan hubungan Tiongkok-Pakistan kini dengan hubungan AS-Israel pada titik emasnya. 

Tiongkok –namanya juga Tiongkok ya– sebuah negara yang mayoritas penduduknya adalah Tionghua dan Pakistan, sebuah negara Republik Islam bisa membina hubungan begitu mesra. Di lain sisi, beberapa oknum di Indonesia yang 'megakunya' Islam justru sering bergesekan dengan etnis Tionghua. Lantas apa yang membedakannya? Kalau kita banding-bandingkan nampak jelas ini bukanlah masalah Islam-Tionghua, ini bukan masalah SARA. Konflik SARA secara murni jarang terjadi. Perang Salib apakah memang murni untuk merebut Tanah Suci, sepertinya ada muatan kecemburuan ekonomi di situ. Holocaust? Peristiwa naas ini juga dibumbui kecemburuan ekonomi dan kepentingan politik. Konflik yang sebenarnya adalah konflik kepentingan, kepentingan politik ataupun ekonomi. Apakah RRT bisa begitu mesra dengan Pakistan karena keduanya super fans dari budaya masing-masing atau platform kebijakan yang diemban masing-masing pemerintah? Ingat budaya keduanya bukan saja berbeda, tapi RRT itu komunis loh yang entah kenapa kerap dihubungkan dengan ateis, jadi entah sudah berapa dalam level ke'kafiran'-nya. Yang jelas ada kepentingan yang menyokong hubungan mesra ini. Pakistan adalah negara pertama yang tampil mengakui RRT sebagai negara berdaulat setelah kemenangannya dalam perang sipil Tiongkok. Pakistan menjadi gerbang  Tiongkok mengenal dunia Islam. Di lain sisi, Tiongkok merupakan partner ekonomi dan supplier senjata utama bagi Pakistan. Kepentingan-kepentingan ini menjadi perekat di antara keduanya. Pakistan menjadi counterbalance bagi Tiongkok dalam menghadapi India, sementara Tiongkok dianggap Pakistan menjadi penyeimbang posisi NATO. 

Lantas apa kaitannya dengan kasus yang terjadi pada tanggal 4 November? Pada prinsipnya tak jauh berbeda, bedanya kini kepentingan tersebut bukan merekatkan tapi justru membelah. Banyak yang menduga –bahkan termasuk Bapak Presiden sendiri– ada aktor politik di balik demonstrasi dan/atau kericuhan yang terjadi pada tanggal 4 November. Isu SARA diangkat sebagai balutan konflik politik. Berbeda kepentingan secara politik sebenarnya sih sah-sah saja, tetapi ketika sudah mulai dibalut secara SARA di sini mulai muncul masalah. Istilahnya kalau mau berantem 'secara politik' boleh aja diadu, tapi jangan banci dong dengan mengangkat isu-isu SARA. Come on, it's like the lowest level of argument, mungkin lebih rendah dari grammarnazi-ing people ketika sudah kalah secara substansi. Adu secara gentle dong, ributin platform kek, ributin kebijakan, jangan serang ke isu SARA yang tidak relevan. Jangan 'pakai'(entah kenapa kata ini belakangan suka dihilangkan jadi mesti dibold, underline, italic) SARA sebagai pita pemanis kepentingan politik karena sama sekali gak ada manis-manisnya. Kalau kata Soe Hok Gie, politik itu kotor. Jadi sudah cukup, jangan ditambah kotor dengan isu-isu primordial!

Sekian saja, minta maaf dulu deh ya kalau ada yang tersinggung, kita hidup di era serba sensitif soalnya. :) 


2 komentar: