Kritik terhadap Film ‘Di Balik 98’

  • 1

Sejarah Indo, Kasus 98, Lukman Sardi dan Chelsea Islan jadi kombinasi  sempurna yang membuat gua menaruh ekspetasi tinggi pada film yang baru dirilis tanggal 15 Januari ini. Sebelum nonton ini, gue sempet cek di google dan ternyata studionya adalah MNC Pictures yang notabene gue kurang suka produksinya, alhasil gue pun menurunkan sedikit eskpetasi gue walaupun gue tau ga seharusnya gue berasumsi seperti itu. Sayang ekspetasi gue yang udah diturunin dikit ini ternyata juga tidak berhasil dipenuhi setelah sekitar 100 menit duduk manis(oke, tidak terlalu manis di dalam Studio 5, XXI Pluit Village. Ada beberapa poin yang menjadi dasar kekecewaan gue:


Pemilihan aktor dan aktris yang maksa

Para pemeran dalam film ini dipilih secara engga tepat, setidaknya itu pendapat gue dan temen gue. Sejauh pemahaman gue, film ini berusaha ngisahin hubungan pertemanan antara pemuda keturunan Tionghua(yang diperankan oleh Boy William) dan seorang anak gadis keluarga tentara yang punya perangai pemberontak(yang diperankan oleh Chelsea Islan). Untuk peran si pemuda Tionghua okelah ada Boy William di situ, tapi untuk peran si gadis kenapa harus Chelsea Islan? Gue ga bilang bahwa Chelsea Islan aktris yang buruk, sebaliknya she’s gorgeorus dan aktingnya bagus di film ini, tapi come on! Ciri fisik Chelsea terlalu blasteran. Memang di film Chelsea didandani sedekil mungkin, tapi tetap hal itu ga bisa menyembunyikan muka dia yang blasteran dan kalo boleh jujur terlihat sedikit Tionghua! Beberapa kali dalam film ini, gue dan beberapa temen gue yang ikutan nonton ketawa, bukan karena komedi dalam film ini tapi aktor-aktor yang meranin Habibie, Wiranto, SBY, Prabowo, sampe Suharto yang seolah membuat film ini jadi parodi tragedi 98. Memang film ini sejak awal udah memproklamirkan diri bukan sebagai film sejarah tapi cuman mengambil setting ’98. Namun, tetap saja cara film ini menggambarkan beberapa tokoh-tokoh besar yang terlibat dalam tragedi ini secara cukup menggelikan.

Terlalu kaku!

Gue sempet bercanda sama temen gue, kalo semua politikus Indo sekarang seperti yang digambarin dalam film ini, gue jamin ga bakal ada kisruh KPK vs. Polri speerti yang terjadi saat ini. Gue tahu kasus ini relatif ‘baru’. Beberapa tokoh yang terlibat bahkan masih hidup dan menduduki posisi-posisi tinggi di pemerintahan. Namun, tolong jangan mendewakan politikus kita di zaman itu. Berapa kali dialog ketua MPR, Presiden Soeharto, dan orang-orang dekat presiden selalu memakai kata-kata layaknya mau kampanya, “Bagaimana keadaan rakyat?”, “Kalau memang itu kehendak rakyat.” Pih! Enek rasanya mendengar dialog yang terlalu dibuat-buat itu. Bayangkan politikus-politikus di zaman itu, Ketua MPR, Pak Harto sedang berada di ujung tanduk perebutan kekuasaan, akankah kata-kata manis seperti kepentingan rakyat, kehendak rakyat jadi kata-kata yang terlintas di benak mereka? Itukah hal yang pertama kali terbesit di otak Pak Harto sepulangnya dari Kairo? Bukan kepentingan politik dan karir politik mereka? Hmm....

China? Seriously?

Satu adegan dalam film ini sempat menunjukkan scene rumah seorang Tionghua yang diporak-poranda oleh perusuh. Salah satu scene yang cukup mencolok adalah scene khusus untuk menyorot vandalisme yang dilakukan oleh perusuh di dinding rumah tersebut, yang saya lupa apa tulisannya mungkin karena kata yang ditulis di situ “China .....”, yang intinya adalah kata makian sang perusuh untuk menyurung penghuninya yang notabene Tionghua untuk hengkang dari tanah air. Gue terperangah dengan kata CHINA! Gue heran kenapa itu perusuh bisa begitu beretika dengan nulis kata China instead of CINA! Sudah jadi fakta sejarah bahwa zaman kerusuhan itu kata yang dipakai untuk menyerang kaum Tionghua adalah CINA, dan kata China baru diperkenalkan belakangan untuk ‘memperhalus isitlah ini’. Penggunaan kata Cina dalam vandalisme yang digambarkan dalam film ini bukannya menghibur orang Tionghua, kata ‘China’ di situ justru sebaliknya menggambarkan seberapa terpuji dan ber-etikanya perusuh kala itu. Gue ngebayangin dialog para perusuh ketikah nulis vandalisme itu:

Perusuh A: Ayo kita piloks ini dinding, kita tunjukkin siapa yang berkuasa di Indo!
                      Gue tulis gini aja ‘Cina, pergi lu dari tanah pribumi’
Perusuh B:  Oi, gila lu men . Pake etika dikit dong. Kasih H, nanti yang baca sakit hati loh
                      bro.
Perusuh A:  Oh iya bener juga lu, sorry maksud gue ‘China, pergi lu dari tanah pribumi!’
Perusuh B:  Sip bro! Keren!

Like come on! Kerusuhan ’98 adalah momen kelam dalam sejarah Indo, ketika manusia jadi binatang dan mereka tambahkan H di kata CINA! It’s like saying, you know ‘98 tragedy is not that bad! 

Rumah Tionghua berjeruji besi tahun 1998?

Satu scene dalam film ini juga menggambarkan rumah-rumah berjeruji besi di tahun ’98. Mungkin memang sebagian kecil rumah di zaman itu sudah memiliki jeruji-jeruji besi. Namun, sebenarnya kebanaykan jeruji-jeruji besi yang ada di rumah-rumah orang Tionghua baru muncul pasca kerusuhan 98. Hal ini adalah akibat dari ketakutan orang Tionghua akan terulangnya peristiwa yang sama, sehingga mereka seolah membangun benteng berjeruji besi. Rumah-rumah berjeruji besi ini seharusnya tidak digambarkan, hal ini seolah menunjukkan bahwa orang Tionghua sejak awal memang tertutup. Tidak! Ini adalah buah dari peristiwa mengerikan di bulan Mei 98 tersebut!

Usaha minim untuk membentuk setting 1998

Mungkin karena budgetnya yang minim ato entah kenapa gue merasa film ini gagal membentuk setting tahun ’98 ketika kerusuhan itu terjadi. Citraland yang dijadikan lokasi scene penjarahan gue rasa terlalu modern, dan pada beberapa scene temen gue sempet nunjukkin Gedung Kampus Untar I tempat gue ngampus  berdiri kokoh di sana, sementara gedung itu not even exist pas kerusuhan!

Scene landing pesawat yang aneh

Ada juga scene landing pesawat ketika Presiden Soeharto balik dari Kairo, dan entah kenapa scene itu harus diedit dan editannya sama sekali ga smooth. Sebernya editan yang ga smooth itu wajar, tapi gue bingung kenapa scene itu harus diedit ga bisa direkam langsungkah? Kalaupun memang ga bisa direkam langsung lebih baik scene itu ditiadakan daripada merusak kualitas film secara overall!

Gue rasa ini beberapa poin yang mebuat film ini kurang direkomen. Gue ga bermaksud menjelek-jelekkan film lokal lewat kritik ini, tapi lebih ke kritik yang konstruktif agar film lokal terutama yang mengambil setting-setting sejarah bisa lebih baik lagi dan memperhatikan detil semiotika dalam film yang dibuat! Majulah perfilman tanah air! 

1 komentar: