Dalam waktu dekat, gue akan ngeluncurin sebuah project Instagram yang bertajuk “@sekotji”. Akun yang gue bangun bersama beberapa temen kampus gue ini bakal punya positioning khusus untuk nyajiin fakta, informasi, dan humor seputar kehidupan orang keturunan Tionghua(Cina, Chinese, Tenglang, Tongnyin atau sebutan lain yang membuat lu nyaman dan ngerti) di Indonesia. Hal-hal ini bakal disajikan dalam bentuk gambar dan video singkat, isinya gak tentang political stuffs yang berat-berat amat kok, mostly bakalan berkisar tentang potret kehidupan orang Tionghua-Indo yang dikemas dengan lucu dan menarik. Di sini kita juga bakal berbagi banyak fakta dan informasi yang mungkin lu belum tahu tentang warna-warni kehidupan orang Tionghua di Indo, ga cuma itu kita juga menyoroti humor-humor seputar stereotip orang Tionghua di Indo yang katanya pelit, punya keluarga yang besarrrr banget, dan lain sebagainya.
Nah, jadi apa sih latar belakang lahirnya sekotji ini? Kalau mau bicara idealnya sekotji ini lahir dari keprihatinan gue dan kawan-kawan sebagai orang keturunan Tionghua di Indonesia terhadap permasalahan orang-orang keturunan Tionghua di Indonesia. Masalah-masalah “Tionghua-Indonesia” yang gue soroti ini sebenernya cukup banyak tapi bisa dirangkum dalam 3 poin penting, yakni: mutual racism, pudarnya kultur Tionghua-Indonesia, dan krisis identitas orang Tionghua di Indonesia.
Mutual racism? Yeah, that’s exactly what I feel about Chinese-Indonesian and Indonesian natives relationship. Keduabelah pihak saling punya prasangka buruk tentang masing-masing. Ga cuma sebagian orang pribumi(perlu ditekankan, SEBAGIAN bukan SEMUA) yang terkadang masih bersikap rasis pada orang Tionghua, sebagian orang Tionghua pun terutama yang agak totok masih enggan sepenuhnya berbaur dengan komunitas pribumi - mungkin salah satunya karena luka lama 98. Jadi boleh dibilang, rasisme ini sifatnya mutual, ga fair kalo cuman bilang orang pribumi yang rasis sama orang Tionghua, sebaliknya juga nyata-nyatanya terjadi.
Masalah kedua yang ga kalah parah adalah pudarnya akar budaya Tionghua di benak anak muda Tionghua-Indonesia. Kalau kita berbicara Tionghua-Indo generasi-generasi lampau hal ini bisa dimaklumi, opresi pemerintahan orba selama 32 tahun memang cukup berefek pada hilangnya kultur Tionghua di kalangan orang Tionghua di Indonesia. Tapi, untuk generasi Tionghua muda nampaknya hal ini ga bisa jadi excuse lagi. Gue selalu prihatin ketika lihat banyak temen-temen gue yang notabene juga Cina, selalu bilang bahasa Mandarin as bahasa Dewa. Come on, man it’s the language of your ancestor! If it’s the language of gods then maybe you’re the grandson of gods! Yang lebih ironis lagi, sembari mengolok-olok bahasa sendiri sebagai bahasa dewa, orang-orang ini pun tetep keukeuh menmisahkan dirinya, atau lebih parahnya meng-ekslusif-kan diri dengan memproklamirkan diri sebagai Cina! This is not just problem, this is irony and hypocrisy!
Sebagian kalangan anak muda Chinese yang upper-middle dan punya edukasi baik di sekolah-sekolah internasional pun lebih memilih memakai bahasa Inggris dan menggangap Chinese sebagai bahasa cing cang cing cong. Come on, it’s more like bo po mo fo than cing cang cing cong!
Hal terakhir yang ga kalah penting sebagai produk dari sejarah rumit orang Tionghua di Indonesia adalah krisis identitas. Sejak kecil gue selalu mempertanyakan gue ini sebenernya mesti bela Cina ato Indo? Kalo Cina, Cina yang mana? (NB: ada dua Cina loh, versi RRT dan Republik Cina Taiwan). Kalo gue bela Indo, kenapa masih ada banyak orang Indo yang jahatin orang gue(Chinese)? But, once again itu pemikiran gue waktu kecil. Setelah perlahan gue belajar secuil demi secuil sejarah ternyata krisis identitas ini ga cuma menerpa gue yang hidup di zaman reformasi, di zaman pasca kemerdekaan pun orang-orang Cina di Indonesia mesti milih mau balik jadi warga Tiongkok atau jadi WNI. Dua-duanya sama-sama dilematis. Kalo balik ke Tiongkok, maka berarti harus siap dicap sebagai mata-mata dan gak murni lagi. Sementara kalau stay di Indo yang baru berdiri, juga harus siap terima diskriminasi dan status warganegara yang belum jelas. Nah, di sinilah orang Indo kala itu berada di persimpangan jalan. Sampai detik ini krisis identitas ini masih terjadi pada sebagian besar Tionghua-Indonesia, tapi belakangan kemunculan Pak Ahok dan beberapa youtuber Tionghua-Indonesia yang kreatif nampaknya agak menumbuhkan sedikit nasionalisme di kalangan Tionghua-Indo.
Nah, menyoroti 3 problem ini, di sini sekotji berusaha hadir sebagai wadah untuk mempersatukan orang Tionghua di seantero Sabang sampai Merauke. Sekotji berusaha jadi lensa yang merekam potret kehidupan orang Tionghua di Indonesia secara humoris. Nah, selain jadi lensa yang merekam realita, sekotji juga berusaha untuk menghembuskan angin perubahan dengan mempromosikan multikulturalisme bagi masyarakat Indo. Kami berharap orang Tionghua-Indo juga bisa bergandengan tangan dengan suku bangsa apapun di Indo untuk membagun tanah air.
Gue tahu dan sadar bahwa tema Tionghua-Indonesia begitu sensitif dan sebagian orang bahkan berpendapat untuk bermain aman dan alangkah baiknya tidak usah mengangkat-angkat tema ini. Tapi, ketika kita sadar bahwa kita hidup di dunia yang makin multikultural dan global permasalahan identitas budaya semacam ini memang harus dipecahkan. Apalagi dalam konteks berbangsa dan bernegara, gue merindukan bangsa Indo jadi bangsa yang multikulutural dan siap memanfaatkan keberagaman rakyatnya untuk membangun Indo yang lebih baik dan tentunya ambil bagian dalam membangun dunia yang lebih baik! No more racism, baik dari majority ke minority atau sebaliknya, mari hargai perbedaan dan jadikan keberagaman sebagai power yang mendorong negeri ini ke masa depan yang lebih cerah!!!
Sebuah ide yang bagus dan kreatif. Teruskan!
BalasHapusThank you sir!!! :)
BalasHapus深露不藏!
BalasHapus我等这样的作品可久了 !
多谢妳的支持!哈哈哈
Hapus