Banyak orang mengira bahwa orang-orang kreatif itu pekerjaannya mudah karena mereka hanya berfokus pada karya kreatif yang mereka lihat. Jarang mereka memahami kerumitan di balik proses kreatif itu sendiri. Tak ayal, celetukan-celetukan seperti gambar di atas kerap menusuk kuping para pembuat karya. Perlu disadari bahwa proses kreatif itu panjang dan penuh akan lika-likunya.
Kebetulan minggu ini, meskipun agak mendadak saya berkesempatan menjadi presentator dalam kelas Creative Thinking dengan topik proses kreatif tersebut. Saya sempat menyebutkan bahwa proses kreativitas lahir dari sebuah proses mengamati, menaganalisis, inkubasi, dan proses penciptaan itu sendiri. Setiap tahapan proses pastinya mempunyai tantangannya sendiri, termasuk dalam menghasilkan karya kreatif.
Sejak SMA, saya terobsesi dengan dunia pembuatan video dan berdecak kagum pada kemampuan para pembuat video menyentuh dan mengubah hati manusia melalui caranya mengemas pesan yang hendak dilempar ke audiens. Alhasil, saya pun memendam ambisi untuk mengikuti jejak para video-maker ini, video-making dalam waktu instan menjadi passion saya! Namun, semua ambisi itu dengan mudah sirna ketika saya sadar saya tidak punya kamera yang bagus, tidak punya laptop untuk mengolah hasil video tersebut, dan intinya tidak bisa membuat apapun! Hambatan realistis ini menjadi batu sandungan bagi saya untuk melangkah lebih lanjut dalam proses kreatif. Beberapa waktu kemudian, dengan serangkaian usaha, masalah fasilitas ini bisa teratasi dan saya mampu membeli setidaknya perangkat minimum yang saya perlukan untuk berkreasi. Saya percaya dengan perangkat minimum pun produk kreativitas bisa muncul, meski tidak akan sementereng para profesional. Namun, setidaknya saya menghasilkan sesuatu dan bisa belajar dengan perangkat paling minimum. Saya mencoba memutarbalik pola pikir saya pribadi. Jika dengan perangkat minmum saja, saya tidak bisa membuat apa-apa maka berarti saya belum siap dengan yang profesional. Perangkat minimum bukan berarti yang bisa dipelajari juga minimum! Sejak itu, saya pun mulai berkreasi!
Ada karya, tentu akan ada kritik. Kritik ini tak jarang cukup menusuk hati, tapi saya menilai kritik sebagai tanda kepedulian. Saya suka menganalogikannya dengan seorang Ibu. Ibu adalah sosok yang paling bawel dan bahkan mungkin dibenci oleh anak-anaknya karena terlalu cerewet. Apapun tingkah sang anak akan diperhatikan dan tak jarang ketika sang anak menyimpang sedikit sang ibu akan memarahi sang anak dengan habis-habisan, tak jarang rotan pun bertindak. Namun, perlu kita sadari setiap omelan bahkan pukulan sang ibu mengandung kasih dan kepedulian. Justru, hal yang paling horror adalah ketika ibu berhenti mengomel, ketika ia mendiamkan sang anak! Diam berarti tidak peduli, dikritik berarti ada yang peduli!
Demikian juga karya kreatif! Ketika karya kreatif itu dilempar ke pasar dan tidak ada respons, menurut hemat saya itu jauh lebih sakit, jauh lebih mengerikan daripada kritik sepedas apapun! Toh apapun yang kita buat pasti akan ada yang meng-apresiasi, tapi ada juga yang akan mengkritik! Ingat, what doesn’t kill you make you stronger!
Terlepas dari hambatan apapun, jangan pernah membendung kreativitas! Berkreasi di tengah keterbatasan bukan hal yang tidak mungkin! Kita tidak akan pernah tahu seberapa besar kreativitas kecil kita mampu mengubah dunia. Dalam bahasa Inggris ada ucapan “Shit happens, but life goes on!”, mungkin ucapan ini bisa kita modifikasi sedikit untuk menyimpulkan artikel ini!
“People criticize, but creativity goes on!”
Saya belajar menulis tanpa punya mesin ketik. Demikian pula kawan-2 saya yang lain. Naskah-2 awal yg saya kirim ke redaksi kebanyakan ditolak. Tuntutan kualitas menulis saat itu nampaknya jauh lebih berat ketimbang saat ini.
BalasHapusSemua tantangan itu sudah saya lewati sekarang. Makin sering berkarya kualitas kita makin baik. Pada saat mengawali pilihan hidup ini memang berat namun dengan ketabahan pasti kita bisa menghasilkan apa yg kita impikan.