Presentator pada kelas Creative Thinking Jumat ini(20/3/15)
menyuguhkan sebuah bahasan menarik mengenai kecerdasan majemuk. Sudah cukup
lama klasifikasi Howard Gardner mengenai 8 jenis kecerdasan ini saya dengar.
Setiap kali mendengarnya kembali, saya selalu tergelitik untuk bertanya: Kenapa
para pemangku kebijakan pendidikan di negeri ini seolah acuh tak acuh terhadap
teori Gardner? Padahal, faktanya hingga detik ini teori Gardner masih relevan!
Sebuah komik inspiratif yang ada pada tautan berikut kurang
lebih merangkum bagaimana para elit politik berusaha menyusun hierarki
kecerdasan untuk kepentingan industrialis. Akibatnya, kebanyakan sekolah dan
para orangtua mengenyampingkan jienis-jenis kecerdasan ‘sekunder’ dan
terperangkap dalam hierarki kecerdasan ini. Nilai-nilai pada mapel(mata
pelajaran) prioritas seperti matematika dan IPA menjadi tolak ukur utama. Perlu
diakui bahwa pendidikan dasar di segala bidang memang penting untuk mengenalkan
siswa akan berbagai macam rumpun ilmu, tapi arahan sistem yang men’dewa’kan
mapel-mapel eksakta ini tidak dapat dibenarkan! Siswa dipaksa mempelajari mapel
eksakta hingga tingkat lanjutan. Terkait hal ini, Albert Einstein pernah berujar:
'Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.'
Mapel ‘prioritas’ kerap menjadi tolak ukur utama bahkan
hingga ke jenjang SMA. Ada argumen bahwa pelajaran mapel esakta tingkat
lanjutan ini dapat berdampak positif bahkan ketika siswa tidak menyukai mapel esakta.
Sang anak akan mampu mengenali apa yang ia sukai dan tidak, hal ini juga
melatih etos kerja mereka untuk berjuang di hal yang mereka mungkin awalnya
tidak sukai. Saya setuju nilai-nilai perjuangan penting bagi peserta didika. Namun, jika kita teropong lebih jauh pada dampak ke depannya, bukankah
seperti kata-kata Einstein di atas, sang anak dapat juga terus tertekan dan
merasa diri bodoh karena tak mampu berhitung level lanjutan. Sementara, mungkin ia punya potensi menjadi seorang musikus besar ataupun orang-orang besar di bidang-bidang lain yang
tidak memerlukan matematika level lanjutan! Hingga di tingkat SMA pun, meski telah ada penjurusan IPA/IPS, stereotipe bahwa IPA jauh lebih baik dibandingkan IPS masih ada dan membuat banyak orangtua merongrong anak-anaknya mengambil jurusan IPA.
Berdasarkan observasi pribadi, saya melihat banyak anak-anak
yang akhirnya stress karena tekanan untuk memaksimalkan angka-angka mapel eksakta
di kolom rapor sekolah. Mereka harus belajar pelajaran yang mungkin tidak
mereka sukai pada level yang tinggi selama berjam-jam dengan guru-guru yang
bahkan mungkin juga tidak menyukai mapel itu. Kemudian pulang dari sekolah
mereka masih harus lanjut ‘menambal’ kekurangan mereka itu melalui les-les pada
mapel yang sama. Akhirnya, tak ada lagi waktu untuk bermain, berkreasi, dan
yang paling penting menghidupi passion-nya! Tidak semua siswa adalah polyglot
macam DaVinci, jangan paksa siswa menguasai semua mapel yang ada, terutama
mapel prioritas! Waktu mereka dikorupsi oleh sistem pendidikan industrialis!
Hal ini kian diperparah oleh pelaksanaan UN yang sudah lama ditentang karena menjadi ladang korupsi para tikus-tikus pemerintahan. Parahnya, UN bukan hanya menjadi ladang korupsi tetapi juga me-‘matematis’kan
parameter kecerdasan. Parameter ini juga menjadi syarat kelulusan.
Hal ini berarti UN memainkan peran besar dalam menentukan masa depan sang anak
atau minimal pandangan masyarakat terhadap sang anak. Tak lulus UN berarti
bodoh! Kacau sekali! Tak heran sistem pendidikan kita ditempatkan sebagai salah satu yang terburuk di dunia!
Di tengah-tengah carut-marut pendidikan di tanah air,
nampaknya lebih bijak jika kita menengok ke negara-negara
Skandinavia yang telah lebih dahulu sukses di bidang pendidikan! Di sana,
kecerdasan majemuk lebih dihargai dan pendidikan tidak dibuat kaku dengan
terpaku pada mata pelajaran eksakta! Kalau negara lain punya sistem yang lebih baik, apa salahnya belajar dari mereka? Toh para anggota dewan juga suka menggelontorkan dana millyaran untuk studi banding ke luar negeri. Kini saatnya studi banding tersebut berbuah dan diaplikasikan!
Mari hargai keragaman kecerdasan dan pupuk kecerdasan itu untuk masa depan yang lebih baik. Karena melalui pundak anak-anak generasi inilah, kita meneropong dunia di masa depan!
Mata kuliah Creative Thinking bertujuan menunjukkan perbedaan cara berpikir ilmiah dengan kreatif. Sistem pendudikan kita seharusnya memberi ruang agar otak kiri dan kanan berimbang.
BalasHapusSiswa mesti diajak mengerti perbedaan itu selain mendapat kesempatan berkreasi. Kreativitas adalah bekal hidupnya agar survive di masyarakat dan bisa memanfaatkan ilmu pengetahuan yang benar-benar dia butuhkan.